Setelah
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, maka Indonesia segera dihadapkan pada
berbagai persoalan yang sulit, terutama harus menghadapi kedatangan Sekutu.
Pendaratan pertama tentara Sekutu akhir September 1945 yang diboncengi oleh
NICA dan KNIL menyebabkan terjadinya ketegangan antara Indonesia dan Sekutu
yang berakhir pada pertempuran di beberapa wilayah.
Persoalannya
makin rumit ketika masa tugas pasukan Sekutu (Inggris) di Indonesia berakhir
pada bulan Oktober 1946. Sebelum meninggalkan Indonesia, Inggris ingin
mempertemukan pihak RI dengan Belanda di meja perundingan. Namun Inggris
dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Pertama, ia harus menepati amanat
Potsdam, yakni mengembalikan Indonesia kepada Belanda dan terikat pada Civil
Affair Agreement yang dibuat bersama Belanda tahun 1944. Kedua, Sekutu
terlanjur memberikan pengakuan de facto kepada RI, seperti
yang dinyatakan oleh Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 1 Oktober
1945.
Pemerintah negara
RI tidak akan diakhiri dan diharapkan akan melanjutkan pemerintahan sipil di
daerah-daerah yang tidak diduduki oleh pasukan Inggris. Saya bermaksud untuk menemui
pemimpin-pemimpin dari berbagai pergerakan dan akan memberitahukan kepada
mereka untuk apa Sekutu datang. Saya bermaksud untuk mempertemukan wakil-wakil
Belanda dan pemimpin-pemimpin Indonesia dalam suatu Konferensi Meja Bundar,
yang hingga sekarang selalu ditolak oleh pihak Belanda.
Untuk
mewujudkan keinginannya itu, Inggris meninggalkan seorang diplomatnya, Sir
Archibeld Clark Kern, yang akan menjadi perantara perundingan antara Indonesia
dengan Belanda. Berkat upayanya, maka dimulailah perundingan-perundingan antara
kedua belah pihak yang dilakukan di Jakarta dan kemudian dilanjutkan di Hoge
Veluwe, Belanda tanggal 14-24 April 1946, namun perundingan ini mengalami
kegagalan karena Belanda hanya mengakui tuntutan RI berupa pengakuan de facto
atas Jawa dan Madura, sedangkan Sumatera tidak diakui.
Kegagalan
Hoge Veluwe dan keberatan-keberatan Belanda mengenai usuk gencatan senjata dan
persoalan politik, tidak menyebabkan Inggris putus asa. Untuk melanjutkan upaya
penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda, diutuslah duta yang baru, yaitu Lord
Killearn yang tiba tanggal 29 April 1946 yang berhasil memutar kembali roda
perundingan yang macet setelah kegagalan Hoge Veluwe.
Sebelum perundingan politik, terlebih dahulu diadakan
perundingan gencatan senjata. RI segera membentuk delegasi yang diketuai oleh
Jenderal Sudibyo. Delegasi RI mengusulkan lima pasal, yaitu:
1.
Gencatan senjata
untuk seluruh Indonesia, baik di darat, di laut, dan udara
2.
Ada niat untuk
memperbaiki diri
3.
Jaminan dari Serikat
bahwa tidak ada penyerahan oleh Serikat kepada pihak Belanda, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
4.
Penyingkiran
orang-orang Jepang, baik militer maupun sipil, dari seluruh Indonesia
5.
Pembukaan dan
kebebasan memakai jalan lalu lintas, baik di darat, di laut, maupun di udara.2)
Perundingan
gencatan senjata tingkat militer yang diadakan tanggal 20 dan tanggal 26
September 1946 mengalami kegagalan, karena Sekutu dan Belanda menolak usul lima
pasal, dan menganggap bahwa usul tersebut terlalu luas dan menyangkut politik,
bukan militer.
Setelah
kegagalan perundingan gencatan senjata tingkat militer, maka dilanjutkan dengan
perundingan-perundingan politik yang dimulai dari tanggal 7 Oktober hingga 15
Nopember 1946 berlangsung di Jakarta dan Linggarjati. Perundingan itu di samping
membicarakan mengenai politik juga masalah militer, dan berhasil mencapai suatu
persetujuan antara RI dan Belanda yang dikenal dengan Persetujuan Linggarjati.
SUMBER:http://www.tuanguru.com/2012/02/latar-belakang-persetujuan-linggarjati.html
0 komentar :
Posting Komentar